KONEKSI
Suara gelas dan sendok beradu nyaring. Senyaring burung yang berkicau di luar sana. Jam di dinding menunjukkan pukul enam. Meta sedang menyiapan sarapan untuk Jonathan. Adik semata wayang dan satu-satunya keluarganya. Sarapan favorit Jo adalah segelas cokelat panas dan roti bakar.
“Jo! Sarapan dulu yuk!” Meta berteriak sambil mengoles selai kacang di roti Jo. Tidak terdengar sahutan. “JO!” Meta kembali berteriak.
“Ini kan hari minggu Kak.” Jo menuruni tangga masih mengenakan baju tidur.
“Lho… Salahnya apa bangun pagi di hari minggu?”
Jo menyesap cokelat panasnya, “Hemmm… nggak ada salahnya Kak, soalnya ini enak banget.” Jo tersenyum lebar.
Meta tersenyum melihat kelakuan adiknya. Cokelat panas selalu bisa mengalahkan segalanya. “Hari ini ada acara?”
Jo mengangguk, mulutnya masih penuh dengan roti.
“Dasar rakus!” Meta mengacak rambut kusut adiknya. “Oh, astaga. Kamu masih bau air liur. Ganteng-ganteng kok ngiler.” Meta pura-pura memencet hidungnya dan menggibas-gibaskan tangannya di depan wajahnya.
Jo nyengir kuda, lalu dengan cuek tetap melanjutkan mengunyah roti bakarnya.
“Jadi hari ini ada acara kemana? Ngerjain tugas kampus?” Meta mengembalikan pembicaraan ke topik awal.
“Tugas kuliah udah selesai.” Jawab Jo setelah menelan kunyahan terakhir rotinya. Lalu ia memasang ekspresi dramatis, “Come on Sist! Aku ini bukan anak kecil lagi yang perlu Kakak interogasi dan aku termasuk cowok populer di kampus. Aku mau jalan sama cewek cantik.”
Meta terkekeh. Jo memang bukan anak kecil lagi. Adiknya itu sudah mulai jatuh cinta ternyata. Baguslah. Selama ini Meta khawatir terhadap Jo. Dari dulu belum pernah sekalipun Meta mendengar adiknya tertarik dengan kaum hawa. Bukan. Meta bukan khawatir kalau Jo homo. Tetapi Meta khawatir, jika Jo tidak bisa menikmati masa remajanya seperti kebanyakan remaja yang lainnya.
Baca juga: Hadiah untuk Bapak
Jo terlalu serius dan fokus pada studinya. Dulu, untuk mendapat beasiswa di kampus favoritnya. Anak itu tidak punya waktu bergaul dengan teman-temannya. Dihidupnya hanya ada belajar, belajar, dan belajar. Sekarang pun setelah berhasil mendapatkan keinginannya untuk masuk universitas yang cukup terkenal di Asia itu Jo harus lebih giat belajar dan berkutat pada tugas yang bejibun. Jo tidak bisa main-main, sebagai penerima beasiswa Jo dituntut untuk mendapat nilai yang harus di atas rata-rata. Kalau tidak beasiswanya akan dihentikan.
Terkadang Meta merasa bersalah atas keadaan Jo. Meta adalah penyebab Jo menderita, ia tidak mampu membiayai kuliah Jo. Sebagai pengganti orang tua mereka, Meta tidak mampu melaksanakan amanat Mama dulu sebelum beliau direnggut paksa oleh penyakit diabetes. Sedangkan Papa meninggal karena menjadi salah satu penumpang maskapai yang mengalami kecelakaan saat Meta berumur lima tahun dan Jo berumur dua tahun. Bahkan sampai sekarang jasad papa belum ditemukan.
“Kak.” Jo menyentuh tangan kakaknya. Menyadarkan Meta dari lamunan. “Lagi mikirin apa?”
Meta tersenyum menepis kesedihannya, “nggak papa. Kakak seneng akhirnya kamu punya cewek. Kapan dikenalin ke Kakak?”
Jo memutar bola matanya. “Mungkin nggak sekarang. Kakak kerja kan?”
Meta menepuk keningnya, kebiasaan yang selalu dilakukannya saat ia lupa. “Astaga. Kakak lupa.” Meta melirik jam tangannya. Pukul 7. Meta terbelalak.
Secepat kilat ia menyambar tasnya dan kunci motornya. Lalu berteriak sambil berlari ke pintu “Kakak berangkat dulu Jo.” Karena tidak hati-hati kaki kiri Meta tersandung sepatunya sendiri. Tapi buru-buru Meta menyeimbangkan tubuhnya sehingga tubuhnya tidak sempat terpelanting ke lantai.
Jo terkekeh melihat kejadian barusan, “Dasar ceroboh.”
****
Meta sampai di tempat kerjanya tepat waktu. Untung saja. Jika tidak, Meta akan mendapat masalah besar. Sang Team Manager atau biasa dipanggil TM adalah orang yang berdisiplin tinggi.
Meta terseyum bersemangat saat dari kejauhan terlihat ada seorang Ibu yang berjalan ke arahnya. “Selamat siang Ibu, maaf mengganggu Ibu sebentar. Saya mau menawarkan…”
“Maaf saya nggak minat.” Ibu itu berkata ketus memotong perkataan Meta lalu berlalu begitu saja.
“Semoga hari Ibu menyenangkan.” Meta berkata berusaha ceria.
“Saya sedang terburu-buru.”
“Saya sedang tidak lapar.”
“Saya tidak punya waktu.”
“Saya tidak punya uang.”
Dan begitu seterusnya. Kata-kata yang sama terus di ulang-ulang oleh orang yang Meta hentikan. Meta menyeka peluh yang mulai turun dari keningnya padahal ia ada di ruangan mall yang berAC. Mulutnya mulai berbusa. Hatinya capek terus diremehkan. Apa salahnya jika mereka mendengarkan terlebih dahulu? Atau paling tidak mereka menolak dengan nada yang sopan. Meta kan juga manusia yang mempunyai perasaan. Hanya satu dua orang yang berkata sopan. Dan ada beberapa orang yang tertarik mencoba masuk ke restoran seafood yang baru buka sejak seminggu yang lalu itu.
Baca juga: Rania, Live Your Life
Meta duduk di depan restoran tempatnya bekerja. Memijat kedua pipinya yang terasa pegal karena seharian tidak berhenti bicara. Lalu ia tersenyum mengingat adiknya. Apakah kencan Jo hari ini menyenangkan? Meta mengeluarkan ponsel dari sakunya. Lalu memencet lama angka satu di sana. Tak lama nada sambung yang membosankan terdengar.
“Ya Kak?” terdengar suara Jo di seberang sana. Adiknya memang tidak menyukai basa-basi.
“Gimana kencan kamu?”
“Keren.” Lalu terdengar suara seorang perempuan memanggilnya. “Maaf Kak, aku nggak bisa lama-lama.” Lalu telepon terputus.
Adiknya memang sedang bersenang-senang. Meta tersenyum lebar tapi dengan mata berkaca-kaca. Terharu. Akhirnya Jo bisa merasakan kebahagiaan seperti teman-temannya. Meta menghapus air matanya yang menetes lalu berjalan ke ruang ganti. Pekerjaannya hari ini memang tidak berjalan baik tapi setidaknya adiknya mengalami hal baik di sana.
Baca juga: Hujan dan Bue
****
“Aku pulang.” Meta berteriak saat memasuki rumah. Keadaan masih gelap. Pertanda tidak ada orang di rumah. Meta menghidupkan lampu satu per satu lalu berjalan ke kamar adiknya. Sudah lama ia tidak ke sana. Sejak Jo masuk kuliah, Meta tidak diperbolehkan lagi masuk ke kamarnya sembarangan. Dan sekarang ia merasa rindu.
“Maaf ya adik kecilku.” Meta terkekeh saat sudah berada di dalam kamar beraroma maskulin itu. Kamar yang seperti perpustakaan mini. Banyak sekali buku-buku tebal menempel di rak yang ditempel di dinding. Buku-buku itu kebanyakan buku tentang IT, sesuai jurusan adiknya.
Meta membuka beberapa buku yang ada di meja belajar Jo. Ada beberapa brosur Pizza yang cukup terkenal di sana. “Apa Jo sedang pengin makan pizza? Besok aku akan membelikan untuknya.” Meta memilih salah satu buku lalu berbaring di ranjang Jo. Ah, ada yang mengganjal di punggungnya. Meta mengulurkan tangannya ke balik punggungnya. Sebuah name tag Pizza di brosur tadi. Dan nama yang tertulis di sana membuat Meta mengernyit. Jonathan.
Di depan terdengar suara motor berhenti. Itu pasti Jo. Terburu-buru Meta keluar dari kamar Jo dengan name tag itu digenggamannya.
“Gimana kencan kamu?” Meta mengulurkan cokelat panas pada Jo setelah adiknya itu mandi. Mereka sedang mengobrol di gazebo dengan buku tebal di tangan Jo.
“Bukannya tadi kakak udah tanya?” Jo meniup cokelat panasnya yang mengepul. Ia terlihat agak lelah.
“Kamu nggak lagi nyembunyiin sesuatu dari kakak kan?”
Raut wajah Jo berubah kaget. “Kakak tadi masuk ke kamarku kan?”
Kali ini Meta yang kaget. “Dari mana kamu tahu?”
“Ada beberapa bukuku yang berubah tempat.”
Ah, iya. Meta lupa jika adiknya itu memiliki ingatan yang menakjubkan. “Ya. Dan kakak menemukan ini.” Meta mengacungkan name tag Jo di depan wajahnya. “Kenapa kamu kerja Jo? Dan apa bener hari ini kamu kencan? Bukannya bekerja?”
Tidak ada gunanya membohongi kakaknya lagi. “Aku kerja.”
“Jo! Kakak masih bisa menghidupi kita. Kakak nggak mau kamu kerja. Kakak pengen kamu seperti remaja lainnya. Kamu harus bergaul Jo. Kamu harus bersenang-senang. Kamu nggak boleh kerja!” Napas Meta tersengal. Matanya terasa panas.
“Kapan kakak akan melanjutkan kuliah?”
“Apa maksud kamu? Jadwal kuliah kakak itu bentrok dengan jadwal kerja kakak.”
“Kerja kakak yang macam-macam itu?” Nada suara Jo menajam. Tatapan matanya menghujam mata hitam Meta.
“Ini demi kita Jo!” Meta berteriak.
“Demi kita atau demi aku?” Jo balas berteriak. Tangannya bergetar menahan emosi, membuat cokelat panas yang dipegangnya tumpah ke tangannya.
Meta mengambil cangkir itu, meletakkannya di atas meja lalu mengelap tangan Jo dengan kaus yang dikenakannya. Meta meniupnya panik. “Kamu nggak papa kan Jo?” Tangan berkulit putih Jo Kini mulai memerah. “Ayo!” Meta menarik Jo ke wastafel dan mengalirkan air pada luka bakarnya.
Terdengar suara terisak. Meta memandang wajah Jo yang telah berlinang air mata melalui cermin. “Sakit ya? Tahan sebentar.” Meta terus memegangi tangan Jo dibawah aliran air wastafel.
“Bodoh!” Jo merengkuh Meta dalam pelukannya. Erat.
“Jo!” Meta berusaha mengurai pelukan itu.
“DIAM! Aku nggak tahan lihat kakak kerja pontang panting dan mengabaikan kuliah kakak demi aku. Aku nggak tahan lihat kakak terus diremehkan dan dihina orang lain demi rupiah. Aku nggak tahan lihat kakak berusaha tegar padahal kakak merasa hancur saat meninggalkan kuliah kakak. Dan aku bukan anak kecil lagi Kak. Aku udah dewasa. Aku hanya ingin membantu meringankan beban Kakak. Bukan hanya Kakak yang bertugas menjaga aku. Tapi aku juga wajib menjaga Kakak.”
Tubuh Meta menegang. Tak menyakangka adik kecilnya akan berkata seperti itu. Kini matanya sudah terasa panas.
“Aku bahagia Kak. Kakak salah kalau mengira aku nggak bahagia saat fokus dengan buku-bukuku. Aku lebih bahagia dari pada jalan dengan teman-teman. Jadi kakak nggak usah punya pikiran yang nggak-nggak soal kebahagiaanku.Kebahagiaan itu ketika kita melihat orang yang kita sayangi juga bahagia.”
Jo memegang kedua bahu kakaknya dan mendorongnya menjauh agar ia bisa menatap matanya. “Aku udah lama kerja Kak, dan hari ini aku resmi naik pangkat. Jadi mulai sekarang, kakak nggak usah khawatir lagi dengan keungan kita. Dan aku pengen kakak kuliah lagi.”
Meta menutup mulutnya dengan kedua tangannya meredam isakkan yang semakin hebat.
“Sekarang giliran aku yang akan membahagiakan kakak. Kita harus bahagia sama-sama.”
Posting Komentar untuk "KONEKSI"
Posting Komentar