Book Review: Perempuan di Titik Nol by Nawal El Saadewi

Awal tau buku ini sekilas dari grup WhatsApp Kubbu (Klub Blogger & Buku), waktu itu ada yang ngebahas sekilas. Terus bikin aku penasaran, berlanjut nyari bukunya di Ipusnas. Dan ternyata antrinya banyak banget, udah dibaca lebih dari 2000 kali. Wow! Berarti buku ini emang bagus. Jadi tambah pengin baca.

Di awal baca bikin boring, mungkin karena terjemahan. Tau sendiri kan, terjemahan itu kadang bahasanya agak kaku dan baku banget. Apalagi ini buku yang terbit di tahun 1975. Udah tua banget.

Tapi, aku tetep bertahan buat baca, lebih karena penasaran. Lalu, lama-lama terbawa suasana beneran!

Sebelum aku bahas lebih lanjut, aku kasih blurb bukunya dulu ya.

BLURB PEREMPUAN DI TITIK NOL

Dari balik sel penjara, Firdaus — yang divonis gantung karena telah membunuh seorang germo — mengisahkan liku-liku kehidupannya. Dari sejak masa kecilnya di desa, hingga ia menjadi pelacur kelas atas di Kota Kairo. Ia menyambut gembira hukuman gantung itu. Bahkan dengan tegas ia menolak grasi kepada presiden yang diusulkan oleh dokter penjara. Menurut Firdaus, vonis itu justru merupakan satu-satunya jalan menuju kebebasan sejati. Ironis.

Lewat pelacur ini, kita justru bisa menguak kebobrokan masyarakat yang didominasi kaum lelaki. Sebuah kritik sosial yang amat pedas!
Novel ini didasari pada kisah nyata. Ditulis oleh Nawal el-Saadawi, seorang penulis feminis dari Mesir dengan reputasi Internasional.

KEHIDUPAN FIRDAUS

Firdaus, wanita di penjara Qanatir ini spesial. Dia tak mau naik banding, juga tak mau bertemu siapa pun. Hingga, Firdaus mau menerima seorang tamu yang dengan gigih ingin bertemu dengannya. Lalu, Firdaus menceritakan perjalanan hidupnya yang kelam.

Sedih, marah, geram, ngerasa ditampar bolak-balik. Itu adalah rasa yang hinggap ketika aku membaca kisah Firdaus. Penulis beneran ngejabarin, gimana kondisi perempuan saat itu. Yang dianggap hina, diperlakukan sesuka hati oleh kaum laki-laki.

Dari kecil, kehidupan Firdaus sudah tak mudah. Berawal dari keluarga yang hanya mementingkan perut sendiri. Paman yang menjualnya. Dalam perjalanan hidupnya Firdaus seperti selalu bertemu dengan orang yang salah. Awalnya memiliki harapan lalu terjun bebas terhempas harapan yang rupanya hanya di angannya saja.
Dengan membaca buku ini, saya seperti terlempar ke masa lampau. Dimana Perempuan masih diperlakukan semena-mena. Mungkin, hingga kini pun masih banyak kaum hawa yang belum merdeka.

Dan ini adalah buku feminis pertama yang aku baca dan bikin aku nangis. Dan kalau boleh aku bilang, ini bukan fiksi. Tapi seperti kisah nyata dari banyak perempuan yang malang. Dimana Firdaus mewakili kisah para perempuan itu, bertemu berbagai lelaki yang kalau aku bilang toxic. Gila banget sih, aku sering nahan napas bacanya.

Si tokoh utama yaitu Firdaus, juga mengalami perkembangan karakter. Yang awalnya dia hanya anak kecil yang polos. Lalu ditempa berbagai kondisi yang selalu menyudutkannya, pada akhirnya Firdaus mampu berdamai dengan kehidupan. Mampu menerima hukumannya dengan ketenangan hati juga penerimaan.

Sebuah novel yang menangkat tema feminis dan kritik sosial yang terjadi di masa itu, saking frontalnya novel ini menjabarkan kebobrokan sistem juga ketidakadilan yang kaum perempuan terima. Kabarnya Nawal El Saadawi sampai dipecat dari posisinya sebagai Direktur Pendidikan Kesehatan dan Pemimpin Redaksi Majalah Health. Sungguh, membeberkan kebenaran itu selalu nggak mudah ya. Butuh keberanian, pengorbanan, juga kenekatan.

Ada beberapa quote yang aku suka banget dari buku ini, yaitu:

Suatu hari Sharifa berkata kepada saya , “Baik Bayoumi maupun siapa saja dari kawan-kawannya tidak menyadari hargamu, karena kau gagal untuk memberikan nilai cukup tinggi kepada dirimu. Lelaki tidak tahu nilai seorang perempuan, Firdaus. Perempuan itulah yang menentukan nilai dirinya. Semakin tinggi kau menaruh harga bagi dirimu semakin dia menyadari hargamu itu sebenarnya, dan dia akan bersiap untuk membayar dengan apa yang dimilikinya. Dan bila dia tidak memilikinya, dia akan mencuri dari orang lain untuk memberimu apa yang kau pinta.” – hal. 88

Baiklah, pas baca ini, kayak ada tai kebo mampir ke muka. Plak! Menyengat! Menyadarkan! Jadi, aku adalah tipe orang yang kurang percaya diri, hingga terkadang berdampak kurang menghargai diri sendiri. Jadi banyak banget kelebatan momen, dimana aku mempermalukan diriku sendiri. Padahal dengan menghargai diri sendiri dengan nilai yang tinggi, kejadian memalukan itu pasti nggak bakal terjadi.

Saya menyadari bahwa seorang karyawati lebih takut kehilangan pekerjaannya daripada seorang pelacur akan kehilangan nyawanya. Seorang karyawati takut kehilangan pekerjaan dan menjadi seorang pelacur karena dia tidak mengerti bahwa kehidupan pelacur menurut kenyataannya lebih baik dari kehidupan mereka. Dan karena itulah dia membayar harga dari ketakutan yang dibuat-buat itu dengan jiwanya, kesehatannya, dengan badan, dan dengan pikirannya. Dia membayar harga tertinggi bagi benda-benda yang paling bernilai rendah. Saya tahu bahwa kita semua adalah pelacur yang menjual diri dengan macam-macam harga, dan bahwa seorang pelacur yang mahal jauh lebih baik dari seorang pelacur yang murahan. Hal. 124 – 125

Nggak cuma di masa buku ini ditulis, tapi aku rasa pernyataan tersebut masih relate banget dengan kondisi saat ini. Dimana karyawan rendahan dimanfaatkan oleh Boss mereka demi agar tidak dipecat. Ada? Aku yakin ada banget! Miris, ironis, menyedihkan!

Saya tidak ditakdirkan mencapai apa yang saya harapkan. Bagaimana kerasnya pun saya berusaha, atau pengorbanan apa pun telah saya berikan seperti orang yang berkhayal mempunyai maksud yang baik, saya masih tetap seorang karyawati miskin yang tak berarti. Kebajikan saya, seperti kebajikan semua orang yang miskin, tak pernah dapat dianggap suatu kualitas, atau sebuah aset, tapi malah dianggap bagai semacam kedunguan, atau cara berpikir tolol, untuk dipandang lebih rendah lagi daripada kebejatan moral dan perbuatan jahat. Hal. 142

Nggak bisa dipungkiri, uang memang selalu berkata benar. Entah perbuatan yang dilakukan salah. Uang seakan membenarkannya. Kekuasaan juga ditentukan dari hal finansial.

Yang Aku Suka:

  • Alurnya nggak kayak novel, jadi ini kayak semacam jurnal. Baru pertama kali aku baca alur seperti ini. Ternyata, sangat menyenangkan. Dan menantang.
  • Bahasanya bikin terhanyut, pilihan diksinya bagus. Cara menggambarkan sesuatu bikin aku ikut tersentuh.
  • Bertemakan feminis, banyak sekali pelajaran hidup yang aku ambil dari novel ini.

Yang Aku Nggak Suka

  • Ada bebebrapa kata yang susaha dipahami. Contohnya seperti quote terakhir yang aku share. Butuh berjali-kali baca baru aku paham maksudnya. Entah ini emang pilihan kata penulisnya seperti itu, atau karena terjemahan.
  • Walau mengalami perkembangan karakter, Firdaus seperti berkali-kali jatuh di lubang yang sama. Ini sih yang bikin emosi dan gregetan. Hehe

Karena novel ini berhasil bikin aku kepikiran dan susah move on. Tanpa ragu, aku kasih bintang 5!

Iya, sekeren itu!

Salam sayang,

Ning!

Posting Komentar untuk "Book Review: Perempuan di Titik Nol by Nawal El Saadewi"