Hadiah untuk Bapak

Sumi tak ingat apa yang telah terjadi. Saat dia bangun, dia sudah ada di sebuah persawahan. Kepalanya pusing, kakinya terasa sakit, dan bajunya compang-camping.

Tertatih, Sumi berdiri. Teriknya matahari yang tepat di atas kepala, membuat kepala Sumi semakin sakit. Pandangannya silau. Tanah yang diinjaknya kering, pecah-pecah macam tumitnya. Ada banyak bekas bonggol padi yang telah dipanen. Kelihatannya sawah ini tidak bisa digarap karena tak dapat air di musim kemarau.

Sumi terus berjalan ke utara, di kejauhan dia menemukan sebuah belik. Sumber air yang biasa digunakan orang desa untuk mandi dan mencuci. Tak seperti biasanya, kali ini airnya agak dalam. Benar-benar musim yang sulit untuk semua warga, mengolah sawah tak bisa, sumber air untuk sehari-hari pun banyak yang mengering.

Tak sabar Sumi mengambil batok di bibir belik, lalu mengambil airnya hingga hampir seperempat tubuhnya masuk ke dalam belik. Setelah mendapat air yang bening dan terlihat sungguh menyegarkan, tak sabar Sumi langsung meminumnya dari batok, hingga banyak air yang tumpah mengenai bajunya.

Ternyata benar, segar sekali. Sumi memutuskan untuk mandi sekalian, kebetulan di ujung bibir belik ada sabun mandi orang tertinggal. Kebetulan ia memang merasa gerah. Kotor. Dan bau amis.

Setelah berpakaian kembali, baju Sumi yang sobek, juga beberapa bagian pada roknya, diikat sedemikian rupa agar tak terlihat sobeknya. Kini ia bisa berjalan dengan lebih percaya diri, juga dengan perasaan yang lebih baik.

Ketika sampai di pemukiman warga, Sumi bergegas menuju rumahnya. Ia lupa perihal bapak tirinya. Sumi lupa, apakah sudah pamit pada bapaknya itu atau belum. Kalau belum matilah dia, bapaknya pasti akan memukulinya seperti biasa. Walau tergolong sering dipukul, tetap saja, Sumi masih belum terbiasa. Dipukul itu sakit sekali.

“Sum! Kamu kemana aja beberapa hari nggak kelihatan?” Yu Karti memanggilnya dari warung makan miliknya.

“Saya juga lupa Yu, tadi tau-tau saya bangun di sawah. Kayaknya saya pingsan.”

“Ya ampun, sini makan dulu, masih ada lauk kesukaanmu lho.”

“Nggak usah, Yu. Nanti takut dimarahi Bapak kalau nggak langsung pulang.”

Raut wajah Yu Karti mendadak pucat, ia ingin berbicara tapi yang ada mulutnya hanya membuka dan menutup. Tidak ada suara yang keluar.

“Ada apa sih, Yu?” Kini Sumi mendekati Yu Karti.

“Kamu belum tau kalau bapakmu mati?”

Sumi tertawa, “apa sih, Yu. Orang bapak kemarin aja masih sempat mukul kepalaku pakai obeng kok.”

Wealah, beneran ini. Cepet kamu pulang dulu. Kamu pingsan di sawahnya berhari-hari kali Sum, sampai nggak tau kalau bapakmu sudah mati.”

Kini Sumi mulai yakin dengan perkataan Yu Karti. Tapi anehnya, Sumi tak merasa sedih sama sekali. Dia malah merasa lega bercampur senang. Mati-matian Sumi menahan agar tak tersenyum. Dia tak ingin Yu Karti mengetahui, siapa dirinya sebenarnya.

Akhirnya, pilihan Sumi adalah menampilkan raut panik. Lalu bergegas menuju rumah tanpa menghiraukan Yu Karti lagi.

“Aku turut berduka ya, Sum.” Yu Karti berkata agak berteriak ketika Sumi seperti kesetanan berlari ke arah rumahnya.

Setelah kelokan, yang berarti Yu Karti tak bisa melihatnya lagi. Sumi memperlambat langkahnya, ia menarik napas dalam-dalam lalu menerbitkan senyum yang sejak tadi ditahannya. Bibirnya yang mungil mendendangkan senandung kecil.

Sesampainya di rumah, Sumi bergegas berganti pakaian. Ia tak tahan mengenakan baju yang mungkin telah dua hari ini ia kenakan.

Tak!

Ada suara benda yang jatuh dari saku rok Sumi, Sumi memungutnya, sebuah bungkusan obat yang dia hadiahkan kepada bapaknya, Sumi menaruhnya di minuman yang ia buatkan untuk bapak. Tapi Sumi lupa dan malah meminumnya sendiri. Mungkin itu alasan Sumi pingsan di sawah.

Lalu, bagaimana bapaknya mati jika obat itu Sumi yang minum? Sudahlah, yang penting sekarang Sumi senang. Bapaknya sudah mati.

Sumi membuat kopi sachet yang tersisa satu di meja dapur. Lalu membawanya ke depan rumah, dia ingin menikmati hari kebebasannya. Hari tanpa bapak.

“Sum!” Seorang perempuan paruh baya tergopoh menghampirinya. “Kamu harus lari, jangan di rumah. Kemarin bapakmu mati dibacok Kirno. Preman kampung yang naksir kamu itu. Ternyata bapakmu punya hutang sama dia, nggak mampu bayar. Akhirnya dihabisin.”

Di tempatnya Sumi pucat pasi mendengar perkataan Lek Tarni. “Polisi?”

Lek Tarni mengibaskan tangannya, “halah, kamu kayak nggak tau aja.”

Sumi buru-buru mengemasi barangnya, ternyata hidupnya belum bebas seperti yang dipikirkannya. Mending kalau bapaknya masih hidup daripada diburu Kirno. Preman sialan!

Posting Komentar untuk "Hadiah untuk Bapak"