Wanita Berbaju Biru

Cerpen
Udara terasa pengap merengkuh paru. Membuat sesak napas hingga keringat dingin deras mengucur. Dengan mata nanar kupandang kipas angin duduk kecil disebelahku. Tergoda untuk menyalakannya. Tetapi tanganku yang telah terulur segera kutarik. Rasa yang lebih menusuk daripada sekadar pengap dan panas. Kepalaku pusing menimbulkan nyeri hingga telinga berdengung. Mata pun ikut berdenyut.
Tanganku beralih ke kepalaku. Menekan kuat dengan mata terpejam menahan rasa sakit. Berharap siksaan ini segera berakhir. Usahaku berhasil. Walaupun tidak hilang sama sekali, setidaknya terasa lebih baik. Perlahan kubuka mataku memandang sekeliling kamar kost berukuran 5×5 ini. Pandanganku berhenti pada sebuah penanak nasi mungil berwarna pink yang kubeli saat pindah dari kost Bulik dulu.
“Aku harus sembuh.” Aku bergumam. Perlahan mencoba duduk. Saat itu juga denyutan hebat kurasakan, mau tak mau membuatku menggeram. Kedua tanganku menggapai lantai sebagai tumpuan untuk berdiri.
Aku menanak nasi dengan tangan gemetar dan napas tersengal. Juga kulit serasa ditusuk jarum saat terkena cipratan air keran. Tapi aku tak menyerah. Aku ingin sembuh dan ke Bandara secepatnya.
Sambil menunggu nasi matang. Aku kembali merebahkan tubuhku, memandang langit-langit yang agak kumal, ada beberapa sarang laba-laba di pojok-pojok dinding. Tidak ada bagus-bagusnya. Setelah bosan, kunyalakan TV tabung dengan suara rendah. Sekadar untuk mengusir senyap yang malah membuat telingaku semakin berdengung. Aku bingung, darimana suara dengungan itu berasal. Apakah orang lain juga mendengarnya? Atau hanya di dalam kepalaku saja. Entahlah.
Ceklek! Nasi telah matang. Aku mengambil abon sapi yang tinggal tersisa sedikit di atas nakas. Mencampurnya dengan nasi yang masih panas lalu makan perlahan. Setelah ini aku akan minum obat, lalu berangkat ke Bandara menjemput Ansell yang sudah tiga bulan ini tidak ada kabar. Setiap hari selalu kusempatkan ke Bandara, setelah melihat jadwal kedatangan dari Perancis. Aku yakin, suatu hari nanti akan menemuinya di bandara. Hati kecilku selalu berkata demikian.
Dengan tangan bergetar aku meraih kardigan biru yang terkait di paku belakang pintu kamar mandi. Tapi susah sekali. Napasku terasa sesak, hingga kuputuskan untuk berhenti sejenak. Membungkuk untuk mengatur pernapasan. Tiba-tiba kardigan biru itu terjatuh, menimpa lantai yang agak basah. Dahiku berkerut, baru saja aku berusaha keras mengambilnya tapi tidak berhasil. Dan sekarang dengan mudahnya kardigan itu terjatuh.
“Hahaha…” Aku tertawa keras. Dunia ini memang lucu. Selalu saja mempermainkanku.
_______________
Hari ini bandara Soekarno Hatta tidak terlalu ramai. Aku berjalan tertatih ke kursi yang biasanya. Kursi paling strategis untuk melihat semua penumpang yang sedang berlalu-lalang. Dan kuharap hari ini aku melihatnya. Ku mohon! Ini sudah hari ke-100 sejak kau janji akan datang. Tapi tak penah ada kabar lagi.
Beberapa pramugari sedang berbisik-bisik sambil sesekali menatapku aneh. Aku memeriksa kembali penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki, tapi tidak menemukan hal aneh.
Salah satu pramugari itu menghampiriku. Tubuhnya tinggi, ia memakai seragam biru tua, dengan atasan lengan panjang dan bawahan rok mini berwarna putih. Ia melemparkan senyum manis padaku. Lalu dengan isyarat meminta ijin duduk di sebelahku. Aku mengangguk, lalu membaca name tag yang tersemat didadanya. Stefani Dupont. Mungkin ada darah Perancis yang mengalir ditubuhnya. Mengingat ia memiliki mata abu-abu dengan wajah asia.
“Hai Kak Nanda.” Sapanya setelah duduk disebelahku.
“Apa aku mengenalmu?”
Ia mengangguk lalu memegang tangan kananku, erat. “Jangan menunggu Mr. Ansell lagi.”
Aku tertawa. Siapa dia hingga lancang? Apa Ansell ada hubungan dengan wanita ini? Memang, secara fisik wanita ini lebih segalanya dibandingkan aku yang bertampang rata-rata, materi juga masuk kategori miskin. Jadi tak heran jika keluarga Asell tidak merestui kami. Hingga lelaki itu memutuskan kabur dari rumah dan memilihku.
“Relakan dia Kak.”
Baiklah, sekarang kesabaranku sudah habis. Aku mengibaskan tangannya kasar hingga terlepas. Wajahku terasa panas. “Apa hubunganmu dengan Ansell?”
Stefani menggeleng. Melemparkan tatapan iba lalu memalingkan wajah. Terlihat ia sedang menyusut air matanya. Sekarang aku benar-benar tidak mengerti.
Ia kembali menatapku dengan mata memerah dan maskara yang sedikit luntur. “Kumohon Kak, relakan Mr. Ansell. Agar ia tenang di sana. Sampai kapan pun Kak Nanda menunggu, Mr. Ansell nggak akan pernah kembali. Bahkan tubuhnya pun belum ditemukan!”
Dadaku mendadak sesak. Kembali kelebatan-kelebatan berita yang menayangkan jatuhnya pesawat Boeing 8887 yang Ansell tumpangi. Membuat kepaku terasa nyeri hingga pandanganku kabur lalu gelap.
_________________
Stefani mengantar Nanda memasuki ambulans dengan pandangan khawatir. Semua orang di Bandara ini mengenal Nanda. Seorang wanita yang setiap hari datang menunggu kekasihnya. Kebanyakan orang memanggilnya dengan wanita berbaju biru. Kak Nanda bilang, warna biru adalah warna kesukaan Mr. Ansell.
Seseorang harus datang mengingatkannya. Hingga tadi, aku memberanikan diri menghampirinya. Biarlah ia sakit. Ia harus menerima kenyataan mulai sekarang. Jika ia datang lagi. Aku akan kembali mengingatkannya.
END

Posting Komentar untuk "Wanita Berbaju Biru"